spesial 4d

    Release time:2024-10-08 02:06:35    source:petir 188   

spesial 4d,arta4d link alternatif,spesial 4dJakarta, CNN Indonesia--

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) soal pengasuhan anakyang diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani.

Para Pemohon menguji frasa "Barang siapa" dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946). Selengkapnya Pasal 330 KUHP ayat (1) menyatakan:

"Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun".

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Amar putusan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo dilansir dari website resmi MK, Senin (30/9).

Awal mula permohonan

Permohonan dengan Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani.

Lihat Juga :
Ruben Onsu-Sarwendah Sepakat soal Gana-gini dan Hak Asuh Anak

Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak.

Dalam persidangan awal, kuasa pemohon Virza Roy Hizzal mengatakan para Pemohon seluruhnya memiliki kesamaan, yakni setelah bercerai dengan suaminya, memiliki hak asuh anak.

Namun, tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa.

Misalnya yang dialami Aelyn Halim. Ia mengaku tidak mengetahui di mana puterinya yang bernama Arthalia Gabrielle berada, karena telah disembunyikan oleh mantan suaminya.

Selanjutnya Aelyn melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian. Namun, laporan Aelyn tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur adalah ayah kandungnya.

Nasib serupa dialami Nur. Anak kedua Nur, diculik oleh mantan suami pada akhir Desember lalu. Hingga saat ini terlapor belum dijadikan tersangka dan tidak ada kejelasan mengenai keberadaan anak keduanya.

Virza menyebut negara harus hadir ketika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak.

Menurutnya, perbuatan memisahkan dan menutup akses anak dengan orang tuanya berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak bukanlah ranah hukum privat melainkan telah memasuki ranah publik dalam hal ini hukum pidana.

"Sehingga terdapat sanksi sesuai Pasal 330 ayat (1) KUHP bagi siapa saja yang melanggarnya. Tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak. Namun, dengan ada penafsiran yang berpandangan ayah atau ibu kandung yang tidak dapat dianggap sebagai pelaku atau subjek hukum sebagaimana frasa 'Barang siapa' Pasal 330 ayat (1) KUHP maka telah melanggar prinsip-prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945," kata Virza.

Lihat Juga :
Resmi Cerai, Wina Dapat Hak Asuh Anak dan Nafkah Rp80 Juta dari Anji

Menurut para Pemohon, frasa "Barang siapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sudah sepatutnya diberlakukan bagi setiap orang termasuk Ayah atau Ibu kandung dari anak, sebagai subjek hukum.

Tidak boleh ada pengecualian yang memberikan kekuasaan dan kewenangan mutlak bagi Ayah atau Ibu jika sampai terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak sehingga tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.

Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan frasa "Barangsiapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), yang kemudian berlaku berdasarkan UU 1/1946 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana jo. UU 73/1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari anak."

Pertimbangan hakim

MK dalam pertimbangan yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, menyatakan terhadap persoalan yang dihadapi oleh para Pemohon, yaitu tidak diterimanya laporan para Pemohon karena terlapor bukan sebagai pelaku tindak pidana dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP, bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menilainya.

Namun, menurut MK, seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan dengan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP, dikarenakan unsur "barangsiapa" yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini adalah orang tua kandung anak, baik ayah atau ibu.

Setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif, Pasal 330 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan yang diatur secara jelas dan tegas (expressive verbis).

Oleh karenanya, ketentuan dimaksud tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain, yaitu frasa "barang siapa" mencakup setiap orang, tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak, sebagaimana yang didalilkan para Pemohon.

Menurut MK, dalam batas penalaran yang wajar, menambahkan pemaknaan baru terhadap Pasal 330 ayat (1) KUHP, termasuk seperti yang dimohonkan para Pemohon, justru akan memosisikan norma a quo menjadi berbeda sendiri (anomali) di antara semua norma dalam KUHP yang menggunakan frasa "barang siapa" yang sesungguhnya bermakna "setiap orang" atau "siapa saja", tanpa perlu memaknai dengan kualitas tertentu.

Lihat Juga :
Kimberly Ryder Minta Nafkah Rp5 Ribu ke Edward: Yang Penting Anak

Hal tersebut justru berpotensi mempersempit jangkauan dari subjek hukum yang menjadi addressaat norm Pasal 330 ayat (1) KUHP, termasuk juga pasal-pasal lain dalam KUHP yang menggunakan frasa "barang siapa".

Selain itu, menambahkan unsur "mencakup setiap orang, tanpa terkecuali dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sebagaimana dikehendaki para Pemohon akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Sebab jika dalam ketentuan norma tindak pidana yang lain mempunyai subjek hukum yang bersifat khusus maka dapat menimbulkan multitafsir jika tidak terlebih dahulu dilakukan pemaknaan baru oleh Mahkamah.

Dengan demikian, Mahkamah berkesimpulan bahwa Pasal 330 ayat (1) KUHP telah memberikan perlindungan hukum atas anak dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

(yoa/wis)